TIMES BANTUL, JAKARTA – Dulu dianggap penyakit lansia, kini kanker kolorektal, yang menyerang usus besar dan rektum, menunjukkan tren mengkhawatirkan. Kasusnya melonjak di kalangan usia muda di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Ironisnya, penyakit ini tak jarang menghampiri mereka yang baru menginjak usia 20-an atau 30-an.
Fenomena ini memunculkan kewaspadaan baru. Generasi muda cenderung meremehkan ancaman penyakit serius seperti kanker usus besar, merasa usia mereka masih terlalu dini untuk memikirkannya.
Padahal, gaya hidup modern yang serba cepat dengan asupan tinggi lemak, minim serat, tekanan hidup, dan kurangnya aktivitas fisik justru menjadi pemicu utama munculnya kanker ini di usia yang lebih awal.
Menyadur dari siaran pers, Selasa (13/5/2025), berikut lima poin krusial yang perlu dipahami tentang kanker kolorektal, mulai dari data kasus terkini, faktor penyebab, tanda-tanda awal, hingga urgensi deteksi dini. Dr. Zee Ying Kiat, Konsultan Senior Onkologi Medis dari Parkway Cancer Centre, Singapura, memberikan panduan berikut:
1. Lonjakan Kasus di Kalangan Muda
Data Global Cancer Observatory (Globocan) tahun 2020 menempatkan kanker kolorektal sebagai jenis kanker keempat terbanyak di Indonesia, dengan 34.189 kasus baru.
Jika dulu penyakit ini dominan menyerang usia di atas 50 tahun, kini trennya bergeser. Data dari International Agency for Research on Cancer (IARC) pada tahun 2022 mencatat sekitar 1.400 dari 25.000 kasus kanker kolorektal di Indonesia terjadi pada pasien di bawah 40 tahun, bahkan 446 kasus di antaranya pada rentang usia 20-29 tahun.
Fakta ini menegaskan bahwa anggapan kanker usus besar hanya penyakit orang tua sudah usang. "Kanker kolorektal kini menjadi ancaman nyata bagi generasi muda, dan ini memerlukan perhatian serius dari kita semua," tegas Dr. Zee.
2. Gaya Hidup Modern sebagai Biang Keladi
Meskipun faktor genetik berperan dalam kerentanan terhadap kanker kolorektal di usia muda, perubahan drastis dalam pola hidup menjadi pemicu utama peningkatan kasus ini.
Diet tinggi lemak dan rendah serat, minimnya aktivitas fisik, konsumsi berlebihan makanan ultra-proses dan olahan, kebiasaan merokok, serta konsumsi alkohol diyakini menciptakan peradangan kronis dalam saluran pencernaan, yang dalam jangka panjang dapat memicu pertumbuhan sel abnormal dan berkembang menjadi kanker.
3. Gejala Awal Sering Terabaikan
Dr. Zee menjelaskan bahwa kanker kolorektal bermula dari polip, yaitu benjolan kecil yang awalnya jinak di lapisan usus besar atau rektum dan berpotensi menjadi ganas seiring waktu.
“Tantangan terbesarnya adalah gejala awal yang seringkali samar, bahkan banyak pasien terdiagnosis tanpa merasakan keluhan apapun,” ujarnya.
Beberapa gejala berikut patut diwaspadai dan tidak boleh diabaikan jika terjadi berulang: perubahan kebiasaan buang air besar (sembelit atau diare berkepanjangan), adanya darah dalam tinja, rasa tidak nyaman atau nyeri perut yang menetap, atau penurunan berat badan tanpa alasan yang jelas.
"Gejala-gejala ini belum tentu indikasi kanker, tetapi jika terus berulang, penting untuk segera berkonsultasi dengan dokter," imbaunya.
4. Deteksi Dini adalah Kunci
Kolonoskopi merupakan metode standar emas untuk mendeteksi kanker kolorektal. Di Amerika Serikat, usia skrining bahkan diturunkan dari 50 menjadi 45 tahun menyusul peningkatan kasus pada usia muda. Jika dilakukan saat kondisi tubuh masih sehat, kolonoskopi tidak hanya mampu mendeteksi kanker, tetapi juga memungkinkan pengangkatan polip atau jaringan abnormal sebelum berkembang menjadi sel kanker.
5. Penanganan Terpadu Tingkatkan Peluang Sembuh
Penanganan kanker kolorektal memerlukan pendekatan multidisiplin. Kerja sama yang solid antara dokter bedah, onkolog, ahli patologi, radiolog, ahli gizi, dan konselor sangat krusial dalam merancang strategi pengobatan yang personal dan efektif untuk setiap pasien. Pendekatan terintegrasi ini terbukti signifikan dalam meningkatkan harapan hidup pasien kanker kolorektal.
Operasi tetap menjadi langkah utama, khususnya untuk mengangkat bagian usus yang terdampak. Namun karena sel kanker bisa tersebar dalam ukuran mikroskopik, pasien sering kali tetap membutuhkan kemoterapi setelah operasi.
Bisa juga dilanjutkan dengan radioterapi, atau terapi target tergantung pada stadium penyakit dan karakteristik tumor.
Dalam dekade terakhir, kemajuan dalam teknologi seperti genomic profiling juga memungkinkan dokter menyesuaikan pengobatan lebih spesifik terhadap profil genetik masing-masing pasien.
Lalu, bagaimana harapan hidup penderita? Tingkat keberhasilan pengobatan dan harapan hidup pasien sangat bergantung pada stadium saat kanker terdeteksi.
Bila ditemukan pada stadium I, angka harapan hidup lima tahun bisa mencapai lebih dari 90 persen. Pada stadium II, angka ini sedikit menurun menjadi sekitar 70 hingga 75 persen. Untuk stadium III, peluang bertahan hidup lima tahun berada di kisaran 50 hingga 60 persen.
Namun, pada stadium IV, atau saat kanker telah menyebar ke organ lain, angka harapan hidup anjlok menjadi hanya sekitar 10 hingga 15 persen. Berkat pengobatan yang lebih terpersonalisasi, kini angka harapan hidup bisa meningkat hingga sekitar 30 persen pada sebagian pasien.
“Banyak pasien dan keluarga mengira kanker stadium lanjut adalah vonis mati. Padahal, dengan penanganan yang tepat dan multidisipliner, peluang kesembuhan tetap ada, bahkan di stadium lanjut,” kata dia.
Di tengah meningkatnya ancaman kanker kolorektal pada generasi muda, menjaga gaya hidup sehat dan kesadaran untuk melakukan skrining dini menjadi langkah penting yang tidak boleh diabaikan.
Dengan perubahan pola hidup sederhana dan pemeriksaan rutin, risiko kanker kolorektal dapat ditekan, dan peluang kesembuhan pun semakin besar. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Usia Bukan Lagi Jaminan, Kanker Kolorektal Mengintai Generasi Muda
Pewarta | : Hendarmono Al Sidarto |
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |