TIMES BANTUL, YOGYAKARTA – Penugasan anggota Polri aktif ke jabatan sipil kembali menuai sorotan setelah terbitnya Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025. Kebijakan tersebut dinilai berpotensi melemahkan tata kelola pemerintahan sipil, mengganggu prinsip meritokrasi Aparatur Sipil Negara (ASN), serta berisiko memundurkan praktik demokrasi yang telah dibangun sejak era reformasi.
Kritik tersebut menguat karena regulasi internal Polri itu dinilai tidak sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menegaskan bahwa anggota Polri aktif wajib mengundurkan diri atau pensiun jika menduduki jabatan di luar institusi kepolisian. Ketidaksinkronan kebijakan ini memicu kekhawatiran akan lemahnya komitmen pemerintah dalam menegakkan supremasi hukum dan pemerintahan sipil.
Dosen Manajemen Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Subarsono, M.Si., M.A., menilai penempatan polisi aktif dalam jabatan sipil berpotensi menciptakan kemunduran serius dalam praktik tata kelola pemerintahan yang baik.
“Fenomena ini bukan sekadar persoalan administrasi, tetapi menyangkut arah demokrasi dan tata kelola pemerintahan. Ada risiko penyimpangan dari fungsi utama kepolisian sebagaimana diatur dalam undang-undang,” ujar Subarsono, Selasa (23/12/2025).
Ancaman terhadap Prinsip Demokrasi dan Meritokrasi ASN
Menurut Subarsono, keterlibatan polisi aktif dalam jabatan sipil berpotensi mengaburkan batas antara fungsi keamanan dan fungsi administrasi pemerintahan. Padahal, dalam Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002, tugas pokok Polri ditegaskan pada pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, serta perlindungan dan pelayanan publik.
Ia menilai, jika penugasan tersebut terus berlangsung, maka prinsip meritokrasi ASN akan tergerus karena jabatan sipil yang seharusnya diisi melalui mekanisme karier birokrasi justru ditempati oleh aparat keamanan aktif.
“Saya melihat ini sebagai gejala perebutan sumber daya ekonomi dan sekaligus kemunduran dalam praktik tata kelola pemerintahan yang sehat,” jelasnya.
Perbedaan Kultur Organisasi Picu Ketegangan Birokrasi
Subarsono juga menyoroti perbedaan mendasar antara kultur organisasi kepolisian dan birokrasi sipil. Menurutnya, kepolisian memiliki karakter hierarkis dan satu komando, sementara birokrasi sipil dibangun di atas prinsip musyawarah, dialog, dan ruang perbedaan pendapat.
Perbedaan karakter tersebut berpotensi menimbulkan ketegangan dalam proses pengambilan keputusan di institusi sipil.
“Budaya kepolisian yang bersifat komando tentu berbeda dengan birokrasi sipil yang menekankan proses deliberatif sebelum kebijakan diambil,” paparnya.
Ia mengingatkan bahwa kondisi tersebut dapat membuka ruang lahirnya praktik otoritarianisme dalam pemerintahan jika tidak dikendalikan secara konstitusional.
Risiko Pelemahan Supremasi Sipil dan Legitimasi Kebijakan
Lebih jauh, Subarsono menilai rangkap jabatan polisi di ranah sipil berpotensi melemahkan supremasi sipil, yang merupakan pilar utama negara demokratis. Ia menegaskan bahwa institusi sipil seharusnya dipimpin oleh warga sipil agar kontrol demokratis terhadap aparatur negara tetap terjaga.
“Kembalinya polisi aktif ke jabatan sipil dapat dimaknai sebagai langkah mundur dari semangat reformasi pasca-1998 yang memisahkan peran militer, kepolisian, dan birokrasi sipil,” ujarnya.
Jika putusan MK tidak dijalankan secara substantif, ia memperingatkan akan muncul risiko jangka panjang terhadap legitimasi kebijakan publik. Pejabat yang kehilangan legitimasi sosial dinilai akan kesulitan mengeksekusi kebijakan karena minim dukungan politik dan munculnya resistensi masyarakat.
Selain itu, penempatan polisi aktif di setidaknya 17 institusi sipil juga dinilai mempersempit ruang karier ASN dan memperpanjang polemik politik di ruang publik.
“Ini berpotensi merugikan ASN dalam jangka panjang dan memperlemah kepercayaan publik terhadap birokrasi,” katanya.
Dorongan Langkah Lunak Pemerintah
Untuk meredam polemik dan mengembalikan prinsip profesionalisme birokrasi, Subarsono mendorong pemerintah menempuh kebijakan lunak (soft policy) tanpa memicu konflik politik terbuka.
Ia menyarankan dua langkah utama yang dapat diambil Presiden. Pertama, meminta Kapolri mencabut Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 karena dinilai bertentangan dengan putusan MK. Kedua, Presiden dapat menggunakan kewenangannya menerbitkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden yang secara tegas membatalkan regulasi tersebut.
“Langkah ini penting untuk menjaga konsistensi kebijakan eksekutif dengan konstitusi, sekaligus membatasi perluasan peran aparat keamanan di ranah sipil,” papar Subarsono. (*)
| Pewarta | : A. Tulung |
| Editor | : Hendarmono Al Sidarto |