TIMES BANTUL, YOGYAKARTA – Universitas Gadjah Mada (UGM) mempertegas perannya dalam penanganan bencana hidrometeorologis di Sumatra dengan membentuk tujuh kelompok kerja lintas disiplin. Inisiatif ini dirancang untuk menjawab kebutuhan penanggulangan bencana secara komprehensif, mulai dari fase tanggap darurat, mitigasi berbasis data, hingga pemulihan sosial dan ekonomi jangka panjang bagi masyarakat terdampak.
Seluruh kelompok kerja tersebut berada dalam koordinasi Emergency Response Unit UGM dan dikonsolidasikan dengan pendekatan ilmiah, penguatan data kebencanaan, serta kolaborasi multipihak. Rektor UGM Prof. Ova Emilia menegaskan, kehadiran perguruan tinggi harus memberi dampak nyata dalam pengambilan keputusan di situasi krisis.
“UGM memastikan ilmu pengetahuan berkontribusi langsung dalam ketepatan respons, percepatan pemulihan, serta dukungan kesehatan dan sosial bagi para penyintas,” ujar Ova Emilia, Selasa (23/12/2025), di Selasar Balairung UGM.
Respons Cepat Berbasis Data dan Kebutuhan Lapangan
Kelompok Kerja 1 difokuskan pada fase tanggap darurat, dengan prioritas perlindungan sivitas akademika dan masyarakat terdampak. Tim melakukan pendataan lapangan sejak awal kejadian untuk memastikan kebutuhan dasar seperti pangan, hunian sementara, dan perlindungan kelompok rentan dapat segera terpenuhi.
Wakil Rektor UGM Bidang Penelitian, Pengembangan Usaha, dan Kerja Sama Dr. Danang Sri Hadmoko menjelaskan bahwa keselamatan dan rasa aman menjadi titik awal seluruh intervensi.
“Kami memastikan bantuan logistik, dukungan hunian, serta asesmen lanjutan berjalan cepat agar perlindungan warga terdampak tidak tertunda,” jelasnya.
Penguatan respons lapangan juga didukung oleh Kelompok Kerja 2 melalui pengembangan Geoportal Informasi Dasar Kebencanaan. Platform ini menyajikan peta dampak bencana, jalur evakuasi, lokasi pengungsian, hingga prioritas distribusi bantuan dengan standar data yang terkontrol.
Dosen Geografi UGM Prof. Djati Mardiatno menekankan pentingnya keterbukaan dan keseragaman data. Menurutnya, sistem satu pintu ini akan meminimalkan tumpang tindih informasi antar lembaga.
“Geoportal dirancang agar data tanggap darurat dapat diakses bersama, cepat, dan akurat untuk mendukung pengambilan keputusan,” katanya.
Mitigasi Ilmiah dan Penguatan Kebijakan Berbasis Ekosistem
Pendekatan ilmiah menjadi fokus Kelompok Kerja 3 yang mengembangkan kajian kebencanaan terintegrasi. Tim menilai bahwa bencana di Sumatra dipengaruhi oleh kombinasi hujan ekstrem, degradasi lingkungan, serta aktivitas manusia. Oleh karena itu, pendekatan multibahaya diterapkan agar peta risiko bersifat adaptif dan relevan dengan dinamika lapangan.
Perwakilan tim, Dr. Sigit Heru Murti Budi Santosa, menyebut integrasi data sebagai fondasi mitigasi berkelanjutan.
“Kami mendorong peta risiko adaptif yang menggabungkan dinamika alam dan aktivitas manusia sebagai dasar peringatan dini dan perencanaan pembangunan,” ujarnya.
Sementara itu, Kelompok Kerja 4 bergerak di ranah kebijakan dengan memetakan SOP serta regulasi penanggulangan bencana yang sesuai dengan karakter wilayah Sumatra. Sinkronisasi kebijakan nasional dan daerah, termasuk koordinasi dengan kementerian serta BNPB, menjadi fokus utama.
Perwakilan tim, Wirastuti Widyatmanti, Ph.D., menekankan pentingnya perubahan paradigma kebencanaan.
“Penanggulangan bencana harus diperkuat melalui pendekatan berbasis ekosistem, dengan dukungan data, kapasitas, dan kebijakan yang saling terhubung,” ungkapnya.
Pemulihan Hunian, Layanan Kesehatan, dan Dukungan Psikososial
Tahap rehabilitasi dan rekonstruksi ditangani Kelompok Kerja 5 dengan prinsip build back better atau membangun lebih aman dan berkelanjutan. Penyintas ditempatkan sebagai subjek utama dalam pemulihan hunian dan lingkungan.
Ketua tim, Ashar Saputra, Ph.D., menjelaskan bahwa konsep hunian sementara (huntara) dirancang berbasis keluarga dan mudah dibangun secara gotong royong menggunakan material lokal.
“Huntara dirancang sederhana agar dapat dibangun sendiri oleh penyintas, dipindahkan saat lokasi hunian tetap telah ditetapkan, dan tidak menimbulkan beban lingkungan baru,” jelasnya.
Dukungan kesehatan ditangani Kelompok Kerja 6 yang sejak awal Desember telah menurunkan tim medis ke wilayah terdampak. Fokus penanganan saat ini meliputi penyakit kulit, diare, serta pemulihan layanan kesehatan dasar akibat persoalan sanitasi dan kualitas air.
Ketua tim medis, Dr. dr. Sudadi, menyampaikan bahwa pengaktifan kembali layanan rumah sakit dan puskesmas menjadi prioritas.
“Kami menurunkan tim lengkap agar layanan kesehatan kembali berjalan dan kebutuhan dasar masyarakat segera terpenuhi,” katanya.
Selain kesehatan fisik, aspek kesehatan mental dan psikososial juga menjadi perhatian. Ketua Tim Psikososial Diana Setiyawati, Ph.D., menekankan bahwa pendampingan emosional merupakan bagian tak terpisahkan dari pemulihan.
“Pendekatan kesehatan mental harus terintegrasi agar pemulihan sosial dan ekonomi dapat berjalan beriringan,” ujarnya.
Komunikasi Publik dan Afirmasi Pendidikan bagi Daerah Terdampak
Peran komunikasi dan advokasi dijalankan Kelompok Kerja 7 yang memastikan hasil kajian dan praktik lapangan terhubung dengan proses pengambilan kebijakan nasional. Koordinasi dilakukan dengan pemerintah pusat, daerah, serta jejaring pemangku kepentingan.
Dekan Fisipol UGM Wawan Mas’udi, Ph.D., menyatakan bahwa kolaborasi lintas sektor menjadi kunci keberlanjutan solidaritas nasional.
“Kami memastikan kontribusi akademik UGM terhubung dengan kebijakan publik dan penguatan solidaritas jangka panjang,” katanya.
UGM juga mengungkap rencana membuka akses afirmasi pendidikan bagi calon mahasiswa dari keluarga terdampak bencana di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Skema tersebut masih dalam tahap perancangan dan akan disesuaikan dengan kebutuhan daerah.
“Kami menyiapkan rancangan afirmasi pendidikan yang melibatkan jejaring perguruan tinggi dan dukungan pendanaan agar generasi muda di wilayah terdampak dapat bangkit dan berdaya,” papar Rektor Ova Emilia. (*)
| Pewarta | : A. Tulung |
| Editor | : Hendarmono Al Sidarto |